Mengembangkan Konsep Andragogi
Malcolm Knowles dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
- Konsep
Diri
Asumsinya
bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang, bergerak dari ketergantungan
total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk
mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa
konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa
membutuhkan untuk mendapatkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu
menentukan dirinya sendiri (SelfDetermination) dan mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak menemukan dan
menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri
sendiri dalam suatu pelatihan,
maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pendidikan.
maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pendidikan.
- Peranan
Pengalaman
Asumsinya
adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan
berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu
mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana
hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang kaya, dan pada
saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar
dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pembelajaran
orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang
dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan
teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle"
(Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman).
Hal ini menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik pembelajaran. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapangan (field school), melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
Hal ini menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik pembelajaran. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapangan (field school), melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
- Kesiapan
Belajar
Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi
matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan
oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak
ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan
sosialnya.
Hal ini berbeda pada seorang anak, umumnya seorang
anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologisnya. Tetapi pada
orang dewasa, kesiapan belajar ditentukan oleh tingkatan perkembangan mereka yang
harus dihadapi dalam peranannya sebagai kader, pekerja, orang tua atau pemimpin
organisasi.
Hal ini membawa implikasi terhadap
materi pembelajaran dalam suatu pendidikan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi
pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peran
sosialnya.
- Orientasi
Belajar
Asumsinya,
pada anak (yang belajar) orientasi belajarnya ‘seolah-olah’ sudah ditentukan
dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi
pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation).
Sedangkan pada orang dewasa, memiliki orientasi belajar cenderung berpusat
pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem
Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa
merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang
dewasa.
Selain itu, perbedaan asumsi ini
disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa,
belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu
segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu
hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa
belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih
tinggi.
Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis (menjawab kebutuhan) dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar