Jumat, 16 Desember 2016

Andragogi dan Predagogi (Konsep Dasar PLS)

Andragogi dan Predagogi (Konsep Dasar PLS)

Andragogi awalnya dirumuskan oleh seorang guru jerman, Alexander kapp, pada tahun 1833( Nottingham Andragogy Group, 1983). Malcolm Knowles adalah orang yang pertama kali istilah andragogi menjadi meluas di kalangan pendidik orang dewasa di Amerika Utara pada tahun 1968.
Malcolm Knowles adalah seorang Profesor pendidikan orang dewasa (adult education) di Boston University. Dia memperkenalkan istilah andragogi yang kemudian di eja “andragogy” melalui sebuah artikel di jurnal ilmiah. Di dalam artikel itu dia menulis secara mendalam mengenai perbedaan andragogi dengan pedagodi atau apa yang disebutnya sebagai andragogy versus pedagogy.

Oleh Knowles dan ahli pendidikan orang dewasa lainnya konsepsi ni kemudian dikembangkan menjadi teori pembelajaran orang pendidikan dewasa. Knowles menulis buku Modern Practice of Adult Education, pada tahun 1970. Dalam buku ini, Knowles, membedakan disiplin pedagogi dan andragogi tersebut. Perbedaan itu terutama pada transformasi pembelajaran di kelas, dimana guru menyeseuaikan perilaku mendidik dan mengajar atas dasar kedewasaan atau ketidak dewasaan peserta didik atau warga belajar.
Awalnya, Knowles (1984) menggagas bahwa andragogi didasarkan pada setidaknya empat asumsi krusial tentang karakteristik pelajar dewasa berbeda dari asumsi tentang pembelajar anak yang didasarkan pedagogi tradisional. Asumsi kelima ditambahkan kemudian. Asumsi-asumsi dimaksud disajikan berikut:
1. Self-concept atau konsep diri. Sebagai orang yang matang konsep dirinya bergerak dari kepribadian tergantung ke sosok manusia yang bisa mengarahkan dirinya sndiri
2. Experience atau pengalaman. Sebagai orang dewasa manusia tumbuh laksana reservoir akumulasi pengalaman yang menjadi sumber daya yang meningkat untuk belajar.
3. Readiness to learn atau kesiapan untuk belajar. Sebagai orang dewasa kesediaan untuk belajar menjadi semakin berorientasi kepada tugas-tugas perkembangan dan peran sosialnya.
4. Orientation to learning atau orientasi untuk belajar. Sebagai orang dewasa, perspektif perubahan waktu dari salah satu aplikasi pengetahuan ditunda untuk kesiapan aplikasi, dan sesuai dengan pergeseran orientasi belajar dari slah satu subjek berpusat pada salah satu masalah.
5. Motivation to learn atau motivasi untuk belajar. Sebagai orang dewasa motivasi belajar adalah internal.
Pada tahun 1984 Knowles telah mengubah pemikirannya tentang perbedaan antara pedagogi dan andragogi. Dikotomi antara “orang anak” dengan “orang dewasa” menjadi kurang ditandai. Knowles menyatakan bahwa konten pedagogi dan andragogi itu memang berbeda, meski konten pedagogi dan andragogi itu memang berbeda,meski konten itu saja dapat berlaku sama berkenaan dengan pengenalan unsur-unsur behavioris. Karenanya, dia bahkan menambahkan asumsi kelima: sebagai orang dewasa, motivasi untuk belajar adalah internal. Namun demikian, Jarvis (1987) konsisten dengan pendapat bahwa andragogi berkaitan dengan pembelajaran orang dewasa dan pedegogi untuk pembelajaran bagi anak.

v  Kedewasaan atau Dewasa

Bagi penulis buku ini, istilah dewasa tidak identik dengan usia kronologis, melainkan lebih mengarah pada kematangan psikologis. Banyak orang yang secara usia kronlogis masih masuk kelompok umur anak-anak, tetapi sudah cukup dewasa secara psikologis. Sebaliknya banyak juga yang secara usia kronologis sudah termasuk dewasa, tetapi belum dewasa secara psikologis. Dengan demikian, andragogi tidak dapat secara hitam putih dimasukkan ke kantong “seni mengajar untuk orang dewasa” dalam makna usia kronologis.
Aplikasi kaidah andragogi secara pukul rata bersifat menyesuaikan, demikian juga pedagogi. Mungkin hanya bisa membantu menjelaskan esensi dewasa dan belum dewasa, tidak untuk digeneralisasikan.

v  Epistemologi andragogi
Seni dan ilmu mengajar orang dewasa disebut andragogi. Istilah dewasa disini lebih ditafsirkan sebagai kedewasaan psikologis ketimbang dewasa dalam usia kronologis. Dengan demikian, istilah “pedagogi dan andragogi”, seperti halnya pedagogis dan andragogis, dapat juga ditafsirkan sebagai “label perlakuan” dalam rangka pembelajaran bagi orang-orang yang dominan dengan ciri-ciri perilaku anak-anak atau dominan ciri perilaku kedewasaannya. Ada orang yang secara usia kronologis sudah masuk usia dewasa, namun masih berperilaku seperti anak-anak, belum menunjukkan kedewasaan.
Andragogi telah menempuh perjalanan relatif  panjang, sudah dikenal sejak lebih dari satu abad lalu. Pada 1950an, pendidik Eropa makin akrab menggunakan istialh andragogi berasal dari kata yunani “anere” yang kira-kira bermakna dewasa dan “agogus” yang kira-kira bermakna mendidik atau mengajari. Baik sebagai seni maupun ilmu, andragogi esensinya adalah membantu orang dewasa agar mampu belajar dan menjadi pembelajar. Malcolm Knowles adalah Bapak Andragogi. Gelar ini dilabelkan kepadanya, karena dia sangat peduli mengembangkan dan mengampanyekan andragogi. Tentu saja nenek andragogi adalah Alexander Kapp, karena dia yang pertama kali melahirkan istilah itu. Knowles merumuskan prinsip-prinsip layanan bagi pembelajar dewasa, seperti disajikan berikut ini.
a)         Orang dewasa perlu dilibatkan dalam perencanaan dan evaluasi dari pengajaran mereka. Orang dewasa dapat mengarahkan diri untuk belajar.
b)         Pengalaman, termasuk kesalahan, menjadi fondasi dasar untuk belajar orang dewasa banyak belajar dari pengalaman.
c)         Orang dewasa paling tertarik untuk mempelajari mata pelajaran yang memiliki relevansi langsung dengan pekerjaannya atau kehidupan pribadi. Kegiatan belajar orang dewasa berorientasi pada tujuan yang relevan dengan kehidupannya.
d)         Belajar orang dewasa lebih berorientasi pada tujuan relevan dengan kehidupannya.
Fokus apa yang harus diperhatikan pada strategi pembelajaran orang dewasa? Mengingat karakteristik pelajar dewasa yang berbeda dengan anak-anak. Desainer pengajaran atau pembelajaran harus memasukkan unsur-unsur berikut ini
•           Metakognisi. Siswa dewasa lebih memilih untuk belajar nelalui penilaian diri dan koreksi diri.
•           Refleksi. Siswa dewasa melakukan refleksi atas apa yang dipejari dan perolehan belajarnya.
•           Pengalaman sebelumnya. Siswa dewasa banyak belajar dari dan menggunakan pengalam sebelumnya sebagai bekal belajar.
•           Pengalaman otentik. Siswa dewasa lebih tertarik dengan pengalaman otentik ketimbang yang abstrak.
•           Motivasi. Siswa dewasa lebih mengandalkan motivasi diri atau motivasi internal ketimbang eksternal
•           Strategi pembelajaran generatif. Kegiatan yang membantu membangun pengetahuan siswa dewasa oleh mereka sendiri.
Seperti dijelaskan sebelumnya teori Knowles tentang andragogi merupakan suatu usaha untuk mengembangkan teori yang khusus diperuntuhkan bagi pembelajaran orang dewasa. Knowles menekankan bahwa orang dewasa dapat mandiri dan mengharapkan mengambil tanggung jawab atas keputusan mereka sendiri.
Program pembelajaran orang dewasa harus mengakomodasi aspek fundamental ini. Dari penjelasan ini makin nampak bahwa dewasa yang dimaksud utamanya kedewasaan atau sikap dewasa yang bisa ditampilkan oleh warga belajar. Sejalan dengan uraian sebelumnya, asumsu-asumsi andragogi tentang desain belajar disajikan seperti berikut :
a)         Orang dewasa perlu mengetahui mengapa mereka harus mempelajari sesuatu.
b)         Orang dewasa perlu belajar atas dasar pengalaman
c)         Orang dewasa belajar sebagai pendekatan pemecahan masalah
d)         Orang dewasa belajar baik ketika topik yang dipelajari memiliki nilai langsung
Dalam istilah andragogi berarti bahwa pengajaran untuk orang dewasa perlu lebih berfokus pada proses dan kurang pada konten yang diajarkan. Strategi seperti studi kasus, permainan peran, simulasi, dan evaluasi diri biasanya dipandang paling bermanfaat. Dalam kaitan ini, instruktur mengadopsi peran fasilitator atau sumber daya, bukan selayaknya guru atau dosen mengajar siswa atau siswa di ruang kelas konvensional.

v  Pergeseran Konsepsi

Di era informasi ini implikasi pergeseran konsepsi pembelajaran berpusat pada guru ke berpusat pada siswa merupakan fenomena pendidikan yang mengejutkan. Keduanya ada dalam realitas dan sering kali terpaksa seperti itu. Kata berpusat dalam kerangka “berpusat pada guru” atau “berpusat pada siswa” mestinya dipahami sebagaimana yang dominan pada situasi bagaimana dan untuk tujuan apa. Ketika guru  harus memberi penjelasan, tidak bisa dihindari fenomena “berpusat pada guru”. Ketika siswa mengerjakan tugas-tugas, secara otomatis akan terjadi tindakan “berpusat pada siswa”. Ketika mereka sedang melakukan “kontrak belajar”, hampir dipastikan keduanya menjadi “pusat”, demikian juga pada saat guru/instruktur dan siswa/warga belajar berdiskusi untuk menyepakati jadwal belajar, pasti keduanya akan menjadi “pusat”, karena bermaksud menemukan kesepakatan bersama.
Namun demikian, menunda atau menekan langkah untuk melakukan pergeseran dari “berpusat pada guru” ke “berpusat pada siswa” akan memperlambat kemampuan kita untuk mempelajari tekhnologi baru dan mendapatkan keuntungan kompetitif. Mengapa demikian ? Dalam banyak kasus, siswa dengan latar belakang keluarga tertentu biasanay lebih memiliki akses tekhnologi ketimbang sebagian dari gurunya.
Bagaimana kita bisa mengharapkan untuk menganalisis dan menyintesis banyak informasi, jika kita beralih kepada orang lain untuk menentukan apa yang harus dipelajari, bagaimana materi itu akan dipelajari, dan kapan akan dipelajari ? Meskipun sekarang dan generasi selanjutnya mungkin bebas dari bias pedagogis, kebanyakan orang dewasa pada saat ini tidak ditawarkan akses tekhnologi semacam itu. Lalu muncullah pendapat bahwa, “To succeed, we must unlearn our teacher-reliance”. Untuk berhasil, kita harus melupakan ketergantungan pada guru.
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang vital dalam usahanya untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dirasakannya belajar sebagai suatu kebutuhan yang vital karena semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menimbulkan berbagai perubahan yang melanda segenap aspek kehidupan dan penghidupan manusia. Tanpa belajar, manusia akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan tuntutan hidup, kehidupan dan pe Darkenwald dan Meriam (Sudjana, 2005: 62) memandang bahwa seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah melewati masa pendidikan dasar dan telah memasuki usia kerja, yaitu sejak umur 16 tahun. Dengan demikian orang dewasa diartikan sebagai orang yang telah memiliki kematangan fungsi-fungsi biologis, sosial dan psikologis dalam segi-segi pertimbangan, tanggung jawab, dan peran dalam kehidupan. Namun kedewasaan seseorang akan bergantung pula pada konteks sosio-kulturalnya. Kedewasaan itupun merupakan suatu gejala yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan untuk menjadi dewasa. Istilah “andogogi” berasal dari “andr” dan “agogos” berarti memimpin, mengamong, atau membimbing.nghidupan yang senantiasa berubah. Dengan demikian belajar merupakan suatu kebutuhan yang dirasakan sebagai suatu keharusan untuk dipenuhi sepanjang usia manusia, sejak lahir hingga akhir hayatnya. (Syamsu Mappa, 1994: 1).

Andragogi adalah suatu model proses pembelajaran peserta didik yang terdiri atas orang dewasa. Andragogi disebut juga sebagai teknologi pelibatan orang dewasa dalam pembelajaran. Proses pembelajaran dapat terjadi dengan baik apabila metode dan teknik pembelajaran melibatkan peserta didik. Keterlibatan diri (ego peserta didik) adalah kunci keberhasilan dalam pembelajaran orang dewasa. untuk itu pendidik hendaknya mampu membantu peserta didik untuk: (a) mendefinisikan kebutuhan belajarnya, (b) merumuskan tujuan belajar, (c) ikut serta memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan penyusunan pengalaman belajar, dan (d) berpartisipasi dalam mengevaluasi proses dan hasil kegiatan belajar. Dengan demikian setiap pendidik harus melibatkan peserta didik seoptimal mungkin dalam kegiatan pembelajaran.
Maka dari itu andragogi merupakan sekumpulan cara belajar yang ditujukan untuk orang dewasa, dengan cara-cara tekhnik, metode yang mendewasakan. Dewasa merupakan sebagaimana, sebanyak apa orang dewasa tersebut memiliki kesadaran etis (moral),karena harus diakui bagaimanpun manusia itu pada umumnya tahu aan adanya baik dan buruk. Bukan selalu ia mengetahui dalam tindakannya tertentu, bahwa ia menjalankan sesuatu yang baik atau yang buruk.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tugas | Fakta dan Esensi Sila Pancasila

Fakta dan Esensi Sila Pancasila Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu filsafat. Pengertian sistem fils...